Mengenai Saya

Foto saya
Kami lahir bukan gila predikat terbaik, tapi kami ingin membuang Rasis dan menyingkirkan dari bumi AREMA selamanya. Sayangi Team kamu dan singkirkan rasis. Sepakbola untuk Indonesia ! "salam satu jiwa"

Sabtu, 31 Juli 2010

Menjadi Aremania, Menjadi Indonesia (KOMPAS)
















Dalam memahami Aremania, komunitas pendukung klub sepak bola Arema "Singo Edan" Malang, mungkin kita bisa meminjam pemerian ilmuwan tentang kekacauan lalu lintas di Saigon, Vietnam, yang disebut sebuah organized chaotic, sebuah kekacauan yang terorganisasi. Karakter organisasi sosial Aremania kiranya bisa dimetaforakan dengan lalu lintas kota-kota di negara-negara berkembang di Asia, seperti Jakarta, Manila (Filipina), atau Mumbai (India).

Kendaraan berseliweran kacau-balau antara becak, mikrolet, sepeda motor, deretan kendaraan parkir dan pedagang asongan, mematuhi dan tidak mematuhi rambu lalu lintas, masih bercampur dengan hewan piaraan dan pengemis. Namun, pada akhirnya seluruh keruwetan itu terurai dan masing-masing kendaraan bisa menemukan jalannya.

Sekalipun dipenuhi ketidakteraturan, sesungguhnya kekacauan itu tetap teratur. Ini karena memang demikian sulit menjelaskan gejala sosial yang tampak pada perilaku para pendukung fanatik Arema ini.

Seperti namanya, Aremania tampak seperti ikatan primordial berbasis tempat, yakni Malang. Ternyata tidak juga, karena banyak dari Aremania ini adalah pendatang dan urban dari luar Kota Malang. Sekitar 20 persen penduduk Kota Malang diketahui pendatang mahasiswa luar kota.

Aremania terbukti juga merupakan sebuah komunitas terbuka. Misalnya, seorang manajer perusahaan maskapai penerbangan asal Padang, yang bekerja di Malang baru berbilang bulan, lalu dengan nyamannya dia menyatakan bahwa dirinya termasuk Aremania.

Di luar kota, warga Malang atau yang pernah tinggal di Malang dan mengecap semangat Aremania, boleh saja mengaku komunitas Aremania. Komunitas Aremania yang disebut terakhir ini yang acap kali memberikan pengorbanan dana, waktu dan tenaga, untuk ikut memberi konsumsi dan akomodasi bagi Aremania di kota-kota pertandingan, tempat Arema menggelar laga tandang (away). Jadi, Aremania tidak persis bisa disebut sebagai organisasi sosial berbasis wilayah. Situasi chaotic atau kacau itu bisa tampak misalnya pada pengamatan terhadap berbagai pernyataan Aremania di media, mulai dari surat kabar dan terlebih stasiun radio swasta di Malang. Mereka berbicara simpang siur tentang pengelolaan Arema sebagai sebuah tim sepak bola.

Amat mudah bagi Aremania, siapa pun, melontarkan komentar lewat media-media tadi. Berbagai usulan, dari usulan bernada akademis, nada kultural, sampai yang bernada sinis, marah, dan makian dengan mudah dilontarkan Aremania pada kepengurusan Arema. Yakni pada para manajer tim, pelatih, dan pemain, pada kegiatan di dalam dan di luar lapangan.

Darmaji, manajer program sebuah radio swasta yang memberikan beberapa jam siaran prime time di malam hari untuk komunitas Aremania mengungkapkan, betapa berjejalnya permintaan telepon untuk ikut memberi komentar.

"Telepon begitu berjejalnya, sampai harus pesan dulu sejak siang harinya karena kalau mencoba angkat telepon saat acara berlangsung, sudah pasti tidak akan mendapat kesempatan," ucap Darmaji.

Namun ujung dari kekacauan itu, akhirnya seluruhnya tertuju pada semacam cita-cita kolektif memajukan Arema sebagai sebuah tim sepak bola. Semua mematuhi bahwa Arema harus menjadi tim yang sukses pada kadar apa pun.

Cita-cita itu sendiri kadang terasa naif karena pada saat-saat tertentu Arema sesungguhnya tak bisa disebut telah berprestasi. Tetapi anehnya, bahkan dalam keadaan yang nyaris tanpa prestasi pada kompetisi tahun-tahun lalu, masih saja berduyun-duyun para pembela Arema ini memasuki stadion dalam jumlah yang sering kali bisa disebut fantastis. Gejala kegilaan dan kegandrungan yang hanya satu-satunya di Indonesia.

Aremania, pada akhirnya telah menjadi menjadi teks sosial yang terbuka, yang menggambarkan bagaimana sebuah masyarakat bisa menemukan penyatuannya, dan secara mandiri menemukan cita-cita bersamanya. Bukankah proses menjadi Indonesia pun demikian caranya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar